Tasikmalaya, Jawa Barat.
Ratusan massa yang tergabung dalam kelompok yang menamakan diri Rakyat Ingin Revolusi menggelar aksi unjuk rasa di Mapolres Tasikmalaya Kota dan Gedung DPRD Kota Tasikmalaya. Aksi ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan terhadap beberapa kebijakan yang dianggap merugikan rakyat, termasuk insiden kematian seorang driver ojek online (ojol) yang tertabrak kendaraan taktis Brimob di Jakarta dan keputusan kenaikan gaji anggota DPR RI yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat. Meskipun aksi dimulai dengan orasi damai, ketegangan muncul setelah sejumlah kelompok bergabung, menyebabkan kericuhan yang melibatkan aksi saling dorong, pelemparan batu, dan botol air mineral. Akibatnya, beberapa peserta aksi dan aparat kepolisian mengalami luka-luka.
Kericuhan di Mapolres Tasikmalaya, Lanjut ke DPRD
Aksi yang dimulai di halaman Mapolres Tasikmalaya Kota pada siang hari ini berawal dengan orasi dari kelompok Rakyat Ingin Revolusi yang menuntut keadilan serta transparansi dalam berbagai isu yang sedang berkembang. Namun, situasi semakin memanas saat kelompok lain bergabung, yang membuat suasana berubah menjadi tidak terkendali. Massa yang terprovokasi mulai saling dorong dengan pihak kepolisian dan beberapa melemparkan batu serta botol air mineral. Kejadian ini menyebabkan sejumlah orang, baik dari kepolisian maupun peserta aksi, terluka akibat bentrokan yang tidak terhindarkan.
Sekitar pukul 16.00 WIB, massa kemudian melanjutkan aksi mereka menuju Gedung DPRD Kota Tasikmalaya yang terletak di Jalan RE Martadinata, Kecamatan Indihiang. Namun, setibanya di lokasi, mereka kecewa karena tidak ada anggota DPRD yang muncul menemui mereka. Tidak adanya respons dari para wakil rakyat ini semakin memperburuk keadaan. Massa yang sudah merasa diabaikan pun melampiaskan kemarahan mereka dengan merusak fasilitas gedung DPRD.
Perusakan tersebut cukup parah, termasuk merusak gerbang utama DPRD, menghancurkan pos satpam dan pintu lobi, serta merusak pot bunga, kaca jendela, hingga perabotan seperti kursi dan meja di ruang Paripurna. Tak hanya itu, dinding gedung DPRD Kota Tasikmalaya juga dipenuhi dengan coretan-coretan vandalisme yang bernada kasar, sebagai bentuk protes atas ketidakpedulian yang dirasakan oleh massa terhadap aspirasi mereka.
Tuntutan Pertanggungjawaban, Kritik Terhadap Polisi dan DPR
Koordinator lapangan aksi, Muhammad Kahar Dwitama, menyatakan bahwa tujuan utama dari aksi ini adalah untuk menuntut pertanggungjawaban dari Polres Tasikmalaya Kota dan DPRD Kota Tasikmalaya atas ketidakadilan yang terjadi. Kahar menjelaskan bahwa ketegangan dalam aksi ini dipicu oleh peristiwa tragis yang menimpa seorang driver ojol di Jakarta yang meninggal dunia setelah tertabrak kendaraan taktis Brimob. Kejadian tersebut dinilai sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan dengan sengaja, bukan sekadar kecelakaan.
“Apapun alasannya, kami menolak tindakan yang melindas massa. Itu bukan tanpa sengaja, itu dilakukan dengan sengaja,” tegas Kahar dengan penuh keyakinan. Ia juga menyoroti ketidaktegasan aparat kepolisian dalam mengusut kasus ini, yang menurutnya memperburuk citra institusi tersebut di mata masyarakat. (Dikutip dari Lintaspriangan.com)
Selain itu, Kahar mengkritik keras keputusan DPR RI terkait kenaikan gaji anggota dewan yang dianggap tidak realistis dan tidak berpihak kepada rakyat. Keputusan tersebut, yang mencakup kenaikan gaji hingga Rp3 juta per hari, semakin menambah kemarahan massa yang merasa bahwa kebijakan tersebut hanya memperburuk ketimpangan sosial di Indonesia.
“Isu kenaikan gaji DPR yang mencapai Rp3 juta per hari sangat tidak masuk akal. Sementara rakyat biasa terus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup, anggota dewan malah mendapatkan kenaikan gaji yang tidak sebanding. Kami melanjutkan perjuangan ini untuk memperjuangkan hak rakyat,” tambah Kahar.
Ketidakhadiran Anggota DPRD Menyulut Kemarahan
Salah satu hal yang menjadi sorotan utama dalam aksi ini adalah ketidakhadiran anggota DPRD Kota Tasikmalaya untuk menemui massa. Kahar sangat menyayangkan sikap anggota dewan yang memilih untuk tidak hadir, padahal mereka adalah wakil dari rakyat yang harusnya mendengarkan aspirasi masyarakat. “Ini merupakan bentuk ketakutan dan seolah ada perintah dari pihak tertentu untuk tidak menemui kami. Bahkan di DPR RI, mereka diperintahkan untuk bekerja dari rumah (WFH) ketika ada aksi massa. Kami merasa diabaikan,” pungkas Kahar dengan penuh kekecewaan.
Aksi unjuk rasa yang digelar oleh kelompok Rakyat Ingin Revolusi ini menggambarkan betapa tingginya ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dan wakil rakyat mereka. Mereka merasa bahwa suara mereka tidak didengar, dan justru harus membayar mahal dengan ketidakpedulian dari pihak yang seharusnya mewakili kepentingan rakyat. Meskipun aksi ini berakhir ricuh, intinya tetap sama: mereka menuntut keadilan, transparansi, dan tanggung jawab dari pihak berwenang.
Polres Tasikmalaya Kota Menghadapi Tantangan Besar
Aksi ini juga memberikan tantangan besar bagi pihak kepolisian. Polres Tasikmalaya Kota yang sebelumnya menghadapi aksi solidaritas driver ojol, kini harus menghadapi kericuhan dalam aksi yang lebih besar ini. Di satu sisi, mereka berusaha menjaga keamanan dan ketertiban, namun di sisi lain, mereka juga harus menghadapi tuntutan masyarakat yang merasa diabaikan.
Kapolres Tasikmalaya Kota, AKBP Moh Faruk Rozi, mengungkapkan bahwa pihaknya akan tetap berupaya untuk mengusut kasus-kasus yang menjadi perhatian publik. “Kami selalu terbuka untuk menerima aspirasi masyarakat, dan kami berkomitmen untuk menjalankan tugas kami dengan profesionalisme yang tinggi. Kami berharap semua pihak dapat bekerja sama untuk menciptakan kedamaian dan keadilan,” kata AKBP Faruk. (***)