TASIKMALAYA, Jawa Barat.
Dalam geliat kehidupan modern yang kerap mengikis kedekatan kekerabatan, sebuah tradisi sederhana namun penuh makna terus hidup dan menyatukan sebuah keluarga besar. Arisan keluarga besar Almarhum Aki Sumirta dan Ma Ijah kembali digelar, mengukuhkan perannya sebagai penjaga tali silaturahmi antar generasi.
Acara rutin yang dihelat setiap dua bulan sekali ini baru saja berlangsung dengan suasana gembira dan khidmat di kediaman Keluarga Mang Erus/Bi Nyai, dalam Rumpun tersebut. Suasana hangat dan penuh keakraban menyelimuti pertemuan yang dihadiri lebih dari 50 orang dari berbagai penjuru itu.
Menurut Asep, salah satu keluarga yang aktif dalam penyelenggaraan, arisan yang berlangsung kali ini merupakan pertemuan ke-17 dari total 22 peserta arisan. Peserta arisan sendiri merupakan perwakilan dari tiap ‘rumpun’ keluarga, yang mencakup anak, cucu, hingga cicit dari Aki Sumirta dan Ma Ijah.
"Acara ini adalah yang ke-17. Peserta arisan resminya ada 22 kepala keluarga, tetapi yang hadir dalam silaturahmi ini selalu jauh lebih banyak, karena seluruh anggota keluarga dari yang muda hingga yang tua turut serta," ujar Asep Lodra kepada SwaraEkslusif.com.
Rutinitas Penuh Makna, Berpindah dari Ciamis ke Tasikmalaya
Seperti tradisi yang telah berjalan, lokasi arisan ini selalu bergilir dan berpindah dari satu rumah peserta ke peserta lainnya, menjangkau wilayah Kabupaten Ciamis hingga Kabupaten Tasikmalaya. Sistem bergilir ini dinilai mampu memperkuat rasa kepemilikan dan kebersamaan, sekaligus menjadi ajang reuni kecil bagi keluarga yang tinggal di daerah yang berbeda.
Acara diawali dengan sambutan hangat dari Pemangku Hajat, selaku tuan rumah sekaligus pemenang arisan. Sambutannya bukan sekadar formalitas, melainkan ungkapan syukur dan kegembiraan dapat berkumpul bersama sanak saudara.
Menanamkan nilai spiritual dan mengingat leluhur, acara kemudian dilanjutkan dengan tawasulan dan doa bersama. Doa-doa dipanjatkan dan dihadiahkan kepada sesepuh keluarga, terutama Alm. Aki Sumirta dan Ma Ijah, serta para pendahulu lainnya yang telah berpulang. Momen hening ini menjadi pengingat akan asal-usul dan akar keluarga yang sama.
Sebagai puncak rasa syukur, seluruh keluarga kemudian menikmati hidangan makan bersama. Momen ‘makan-makan’ ini lebih dari sekadar urusan perut; ia adalah simbol kebersamaan, rasa syukur atas rezeki, dan kehangatan yang tercipta dalam kebersamaan.
Mengurai yang "Buntu", Menjalin Kembali yang "Pareumeun Obor"
Dalam penuturannya, Asep Lodra menegaskan bahwa esensi utama dari arisan keluarga ini jauh melampaui aspek materi.
"Tujuan utamanya adalah memperkuat tali silaturahmi antar keluarga. Kita semua adalah saboroyotan (keturunan) dari Aki Sumirta dan Ma Ijah. Melalui acara ini, kita saling mengenal, menjalin kembali hubungan yang mungkin renggang," tegasnya.
Ia mengakui, dalam sebuah keluarga besar, tidak sedikit hubungan kekerabatan yang menjadi "buntu" atau "pareumeun obor" – sebuah istilah Sunda yang menggambarkan hubungan yang terputus atau tidak saling mengenal lagi antar keluarga karena jarak, waktu, atau kesibukan.
"Arisan ini menjadi jembatan untuk membuka kembali yang buntu, menyalakan kembali obor yang padam. Agar anak-cucu kita tahu siapa saudaranya, tahu asal-usulnya. Ini adalah investasi sosial yang tak ternilai untuk keberlangsungan kekompakan keluarga besar," papar Asep.
Keberhasilan acara ini menunjukkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal seperti silaturahmi dan ingat pada leluhur, ketika dikemas dalam tradisi yang konsisten dan tulus, tetap relevan dan mampu menjadi perekat kuat di tengah terpaan zaman. Arisan keluarga besar Aki Sumirta dan Ma Ijah bukan sekadar pengocokan nama dan uang, melainkan sebuah ritme penyambung nyali persaudaraan yang terus berdetak setiap dua bulan sekali, dari Ciamis hingga Tasikmalaya. (Redaksi)



