Program PTSL di Desa Sindangasih Cemaskan Warga: Biaya Melambung, Sertifikat Tertunda, dan Koordinasi yang Kacau

foto : kantor kepala desa sindangasih, Banjarsari, Ciamis

BANJARSARI, Ciamis, Jawa Barat.

SwaraEkslusif.com

Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang digadang-gadang pemerintah memberikan kepastian hukum bagi pemilik tanah, justru menyisakan kisah pilu dan kekecewaan bagi beberapa warga Desa Sindangasih, Kecamatan Banjarsari. Keluhan beragam, dari sertifikat yang tak kunjung terbit hingga pengenaan biaya di atas ketentuan resmi, mewarnai implementasi program ini di lapangan.

Seorang warga yang meminta namanya tidak dipublikasi mengungkapkan kekecewaannya yang mendalam. "Dari dulu sudah ikut PTSL, sampai sekarang sertifikatnya belum beres-beres juga," keluhnya dengan nada kesal.

Kekecewaan serupa diutarakan warga lain. Ia justru menerima sertifikat dengan titik koordinat yang salah. Masalah teknis ini, menurutnya, belum juga diperbaiki meski uang partisipasi telah lama disetor kepada panitia pelaksana.

Kades Buka Suara: PTSL Dilaksanakan Sebelum Masa Jabatannya

Menanggapi keluhan yang berlarut-larut, Kepala Desa (Kades) Sindangasih yang menjabat sebagai Pengganti Antar Waktu (PAW) sejak Agustus 2023, menyatakan bahwa pelaksanaan PTSL dilakukan sebelum ia memimpin.

"Setahu saya program PTSL awal di sini tahun 2019 dan terakhir 2022. Karena saya tidak tahu menahu, lebih baik masyarakat tanya langsung ke panitia PTSL saat itu," ujar Kades kepada Swaraekslusif.com.

Meski begitu, ia mengakui pernah menerima komplain warga terkait kesalahan data pada sertifikat, seperti titik koordinat, luas, dan batas-batas tanah. Upaya konfirmasi kepada Ketua PTSL periode sebelumnya, Pa Dadang, tidak membuahkan hasil.


Foto : Yuda, Team Pemberkasan PTSL Desa Sindangasih


BACA JUGA : 

Pemerintah Siap Jalankan Putusan MK, Larangan Polri Aktif Duduki Jabatan Sipil Bakal Diikuti Penyesuaian


Biaya Naik Jadi Rp 200.000, Terbukti Langgar SKB Tiga Menteri

Keterangan lebih rinci dan mengkhawatirkan justru datang dari Yuda, Kaur Desa Sindangasih yang pada masa PTSL bertugas sebagai petugas pemberkasan. Yuda membeberkan realisasi kuota PTSL yang amburadul.

"Kuota tambahan tahun 2022 sebanyak 800 bidang belum beres semua. Hanya 400 bidang yang terpakai, dan dari jumlah itu, 100 bidang yang berkasnya sudah disetor ke BPN," jelas Yuda. Artinya, sekitar 400 bidang dari kuota 2022 tidak tersalurkan dan statusnya menggantung.

Yang paling kontroversial adalah pengakuan Yuda soal biaya. Ia membenarkan bahwa warga dikenai biaya sebesar Rp 200.000 per bidang. Kebijakan ini secara terang-terangan melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang menetapkan biaya PTSL untuk Jawa dan Bali sebesar Rp 150.000, dengan klausul "sampai beres" tanpa terkecuali.

Yuda berusaha membela diri dengan menyatakan bahwa penambahan Rp 50.000 itu berdasarkan kesepakatan musyawarah satu kecamatan untuk patok dan materai. Namun, alasan ini jelas bertentangan dengan aturan resmi yang melarang keras pungutan tambahan.


BACA JUGA : 

Terkait Putusan MK, Polri : 'Kami Akan Hormati dan Jalankan Ketentuan'


Foto : Asep Dan Ahmad, Koordinator Kearsipan BPN Kabupaten Ciamis


BPN Buka Suara: Rotasi Pejabat dan Kewenangan yang Terbatas


Disambangi dikantor kerjanya, Asep dan Ahmad, yang merupakan Koordinator Bagian Kearsipan BPN Kabupaten Ciamis, mencoba menjelaskan akar permasalahan dari sisi mereka. Mereka mengakui bahwa hingga saat ini (2025), proses PTSL untuk periode 2021 dan 2022 memang masih ada yang belum tuntas.

Menurut mereka, mekanisme PTSL melibatkan tim desa dan tim BPN, mulai dari pengajuan, pengumpulan data, pematokan, hingga pengukuran. Namun, koordinasi antara kedua tim ini seringkali berjalan lambat, berbulan-bulan, yang diperparah oleh kebijakan 'rolling' atau perputaran pejabat BPN setiap dua tahun.

"Memang sampai saat ini ada yang belum beres. Karena pejabat BPN dua tahun ada yang di-rolling," ujar salah satu sumber di BPN.

Mengenai kelebihan biaya, BPN mengaku telah sering melakukan sosialisasi bahwa biaya resmi adalah Rp 150.000. Namun, mereka menegaskan bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk menindak pelaku pungutan liar atas program ptsl.

"Apabila ada yang memungut lebih dari itu, itu masuknya bukan kewenangan kami untuk menindak," jelasnya.

Untuk masalah perbaikan sertifikat yang salah, BPN menyebutkan bahwa prosesnya membutuhkan koordinasi dengan tim desa. Kondisi ini semakin sulit karena saat ini tidak ada lagi pembentukan tim PTSL baru, mengingat program tersebut telah berakhir, namun menurutnya tahun ini di pastikan akan terselesaikan. 

Analisis : Pelanggaran Sistemik dan Vacuum of Responsibility

Fakta-fakta yang terungkap di Desa Sindangasih mengindikasikan adanya dugaan pelanggaran sistemik terhadap aturan main PTSL. Setidaknya terdapat tiga masalah kompleks dan komprehensif yang berbenturan dengan regulasi di Indonesia:

1. Dugaan Pelanggaran Administrasi dan Keuangan : Pengenaan biaya Rp 200.000 adalah pelanggaran langsung terhadap SKB Tiga Menteri. SKB sebagai produk hukum setingkat peraturan menteri harusnya menjadi panduan wajib yang tidak boleh dilanggar oleh panitia di level manapun. termasuk "Kesepakatan musyawarah kecamatan" tidak memiliki kekuatan hukum untuk membatalkan aturan yang lebih tinggi.

2. Inkompetensi dan Akuntabilitas yang Lemah : Ketidaktuntasan kuota, lambatnya penerbitan sertifikat, dan banyaknya kesalahan data teknis mencerminkan buruknya koordinasi dan kompetensi pelaksana. Kebijakan 'rolling' pejabat BPN yang tidak diiringi dengan serah terima tugas yang baik menciptakan 'vacuum of responsibility' (kekosongan tanggung jawab), dimana tidak ada pihak yang mau dan bisa bertanggung jawab atas masalah yang tertinggal.

3. Ketidakpastian Hukum dan Kerugian Masyarakat : Warga sebagai penerima manfaat program tersebut berbalik menjadi korban utama. Mereka tidak hanya dirugikan secara materi karena membayar lebih, tetapi juga mengalami ketidakpastian hukum atas asset terpenting mereka : tanah. Sertifikat yang salah dan atau tidak kunjung terbit membuat hak kepemilikan mereka rentan disengketakan.

Kasus di Desa Sindangasih ini harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat dan daerah. Diperlukan investigasi mendalam untuk memastikan akuntabilitas, mengembalikan uang kelebihan biaya kepada warga, dan menyelesaikan semua sertifikat yang masih menggantung. Tanpa langkah tegas, program nasional yang mulia ini justru akan menjadi sumber masalah hukum dan sosial di tingkat akar rumput.

Swaraekslusif.com akan terus mengawal kasus ini dan mendorong BPN pusat untuk memberikan tanggapan resmi terkait temuan pelanggaran biaya dan mekanisme koordinasi yang tidak efektif ini.

(I. Darmawan)






Baca Artikel Berita Menarik Lainnya Lengkap Di Swaraekslusif.com.

Lebih baru Lebih lama