Fakta!!! Segini Gaji Kepala Desa, Gaji Pokok, Tunjangan, hingga Total Pendapatan Setahun


Swaraekslusif.com.

“Berapa sebenarnya gaji Kepala Desa?” Pertanyaan ini bukan sekadar rasa ingin tahu, melainkan juga menyangkut transparansi keuangan desa yang bersumber dari uang negara. Apalagi, sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa menjadi salah satu titik fokus pembangunan nasional dengan kucuran dana miliaran rupiah per tahun. Di tengah sorotan besar itu, wajar jika publik ingin tahu berapa sebenarnya penghasilan pemimpin desa.


Kita mencoba mengurai secara detail bagaimana struktur pendapatan Kepala Desa: dari gaji pokok, tunjangan, hingga total penerimaan bulanan dan tahunan. Tidak hanya itu, kita juga akan membandingkan antar daerah, melihat kontroversi di balik angkanya, serta memprediksi arah kebijakan di masa depan. Semua dengan gaya bahasa jurnalistik, menyeluruh, dan tetap lugas.


Payung Hukum: Hak Kepala Desa


Undang-Undang Desa menjadi pintu utama. Pasal 66 UU Nomor 6 Tahun 2014 menegaskan Kepala Desa berhak memperoleh penghasilan tetap, tunjangan, penerimaan sah lainnya, serta jaminan kesehatan. Namun UU tidak mencantumkan nominal pasti. Untuk itulah hadir PP Nomor 43 Tahun 2014 dan perubahannya, yakni PP Nomor 11 Tahun 2019, yang mempertegas angka minimal gaji.


Menurut PP 11/2019, standar minimal penghasilan tetap Kepala Desa adalah setara 120 persen gaji pokok PNS golongan II/a. Artinya, angka ini tidak boleh lebih rendah dari Rp2.426.640 per bulan. Sementara Sekretaris Desa mendapat 110 persen, dan perangkat desa lainnya 100 persen dari gaji pokok golongan II/a.


Aturan ini menutup celah perbedaan terlalu besar antar daerah, sekaligus memberi kepastian hukum. Namun, kenyataannya di lapangan, nominal yang diterima masih bisa lebih besar tergantung kebijakan daerah.


Baca Juga :



Rincian Pendapatan Bulanan


Mari kita pecah pendapatan Kepala Desa per bulan dalam komponen utama:

  1. Gaji Pokok (Penghasilan Tetap)
    Minimal Rp2.426.640. Di banyak daerah, ditetapkan lebih tinggi. Ada kabupaten di Jawa Barat yang menetapkan Rp3 juta–Rp3,5 juta sebagai gaji tetap Kepala Desa.
  2. Tunjangan Jabatan
    Besaran bervariasi, rata-rata Rp500 ribu hingga Rp2 juta per bulan. Tunjangan ini diberikan karena posisi Kepala Desa sebagai pimpinan tertinggi di tingkat desa.
  3. Tunjangan Kinerja/Kesejahteraan
    Tidak semua daerah memberlakukan, tapi di kabupaten maju bisa mencapai Rp1 juta per bulan.
  4. Tunjangan Operasional Kepala Desa (BOKades)
    Jumlahnya signifikan. Ada kabupaten yang memberi Rp5 juta hingga Rp10 juta per bulan. Perlu dicatat, dana ini tidak sepenuhnya menjadi “uang saku” pribadi, melainkan untuk mendukung kegiatan pemerintahan desa. Meski begitu, tetap saja melekat pada jabatan Kepala Desa.
  5. Jaminan Kesehatan dan Ketenagakerjaan
    Bentuknya bukan uang tunai, melainkan pembayaran iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Jika dihitung rata-rata di daerah yang cukup maju:

  • Gaji pokok: Rp3.000.000
  • Tunjangan jabatan: Rp1.500.000
  • Tunjangan kinerja: Rp1.000.000
  • Operasional: Rp7.000.000 (tidak seluruhnya untuk pribadi)


Total pendapatan bulanan: Rp12.500.000 (dengan catatan sebagian bersifat operasional). Sementara di daerah dengan fiskal minim, Kepala Desa bisa hanya membawa pulang sekitar Rp3 juta–Rp4 juta per bulan.


Rincian Pendapatan Tahunan


Jika dihitung secara kasar, berikut gambaran pendapatan tahunan Kepala Desa:

  • Daerah minimal (hanya gaji + tunjangan kecil): sekitar Rp36 juta–Rp42 juta per tahun.
  • Daerah sedang (dengan tunjangan tambahan): sekitar Rp48 juta–Rp72 juta per tahun.
  • Daerah maju (dengan tunjangan besar + operasional): bisa mencapai Rp96 juta–Rp150 juta per tahun.


Nominal ini memang jauh lebih rendah dibandingkan bupati atau pejabat kabupaten. Namun, jika dibandingkan dengan rata-rata pendapatan masyarakat desa, angka ini bisa terlihat cukup besar.


Perbedaan Antar Daerah


Ketimpangan antar daerah menjadi cerita tersendiri. Kepala Desa di Sleman, Yogyakarta, bisa mengantongi Rp5–7 juta per bulan. Di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, ada yang mencapai Rp8–10 juta per bulan. Sebaliknya, Kepala Desa di daerah terpencil di Kalimantan atau NTT kadang hanya menerima Rp3 juta per bulan.


Perbedaan ini bukan sekadar soal angka, tetapi juga menyangkut keadilan sosial. Bagaimana mungkin beban kerja Kepala Desa di daerah tertinggal yang harus berjuang ekstra menghadapi keterbatasan, justru mendapat penghasilan lebih kecil daripada rekan mereka di daerah maju?


Kontroversi dan Kritik Publik


Tidak ada cerita gaji perangkat desa tanpa kontroversi. Demonstrasi perangkat desa pernah memenuhi jalanan ibu kota hanya untuk menuntut kepastian kenaikan gaji. Mereka menilai tanggung jawab Kepala Desa begitu besar: mengelola dana miliaran, menghadapi konflik warga, hingga mengurus administrasi yang tidak pernah berhenti. Jika gaji tidak layak, godaan korupsi akan semakin besar.


Namun, dari sisi publik, ada pula suara sinis. Mereka melihat sebagian Kepala Desa justru lebih sibuk dengan urusan pribadi daripada membangun desa. Tunjangan besar dianggap mubazir jika tidak diimbangi dengan kinerja nyata. Bahkan, ada kritik bahwa operasional desa kerap disalahgunakan menjadi “uang tambahan” pribadi.


Dampak Sosial-Ekonomi Kinerja


Pendapatan Kepala Desa tidak bisa dilihat semata-mata sebagai angka. Ada dampak sosial-ekonomi yang mengikuti. Jika penghasilan layak, Kepala Desa lebih tenang bekerja, pelayanan publik meningkat, dan potensi penyalahgunaan berkurang. Sebaliknya, jika gaji kecil, risiko praktik pungutan liar dan korupsi justru terbuka lebar.


Secara ekonomi, pengeluaran untuk gaji dan tunjangan perangkat desa dibatasi maksimal 30 persen dari APBDes. Jika lebih dari itu, pembangunan desa bisa terganggu. Inilah dilema yang terus menghantui: antara menyejahterakan aparat desa dan menjaga ruang fiskal untuk pembangunan masyarakat.


Arah Kebijakan


Pemerintah pusat menghadapi tantangan besar. Ada wacana standarisasi nasional agar tidak ada kesenjangan mencolok. Skema insentif berbasis kinerja juga sedang dipertimbangkan: gaji dasar tetap, sementara tunjangan ditentukan oleh capaian kinerja. Transparansi APBDes juga akan diperkuat, sehingga masyarakat bisa memantau langsung berapa sebenarnya gaji Kepala Desa di daerahnya.


Jika kebijakan ini terwujud, mungkin di masa depan tidak akan ada lagi demonstrasi perangkat desa hanya karena gaji. Sebaliknya, publik bisa menilai Kepala Desa bukan dari seberapa besar tunjangannya, melainkan seberapa nyata kerja yang dilakukan.


Total pendapatan Kepala Desa bervariasi, mulai dari Rp3 juta per bulan di daerah minim fiskal, hingga lebih dari Rp12 juta per bulan di daerah maju. Dalam setahun, angka itu bisa berarti antara Rp36 juta hingga Rp150 juta, tergantung daerah.


Angka tersebut bisa terlihat kecil dibanding pejabat kabupaten, tetapi jika dibandingkan rata-rata pendapatan masyarakat desa, nilainya cukup besar. Karena itu, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci agar pendapatan Kepala Desa benar-benar sejalan dengan kinerja dan kesejahteraan warga.


Pada akhirnya, isu gaji dan tunjangan Kepala Desa tidak bisa dilepaskan dari kualitas tata kelola desa itu sendiri. Selama desa masih menjadi garda terdepan pembangunan, kesejahteraan Kepala Desa akan selalu menjadi perdebatan publik. (Red).






Baca Artikel Berita Menarik Lengkap Lainnya Di Swaraekslusif.com.

Lebih baru Lebih lama