Ciamis, Jawa Barat.
Raden Adipati Aria Koesoemadiningrat, juga dikenal sebagai Kanjeng Prebu adalah Bupati Ciamis/Galuh yang menjabat pada periode 1839 - 1886. Selama menjabat Bupati Galuh, Koesoemadiningrat berhasil menghilangkan kebijakan tanam paksa di Kabupaten Galuh. Dia juga mendapatkan berbagai penghargaan karena jasanya dalam membangun Kabupaten Galuh menjadi lebih baik.
Jamasan pusaka adalah upacara atau ritual adat Jawa untuk membersihkan benda-benda pusaka peninggalan leluhur, seperti keris, tombak, atau kujang. Ritual ini tidak hanya sekadar pembersihan fisik untuk merawat benda agar tidak berkarat, tetapi juga memiliki makna spiritual yang mendalam sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang dan pelestarian nilai-nilai budaya.
Kepulan asap dupa dan kemenyan yang menghasilkan wangi khas itu menyeruak menyelimuti udara pagi di Situs Jambansari, Kabupaten Ciamis, Minggu (14/9/2025). Prosesi Jamasan pusaka merupakan sebuah ritual pembersihan delapan pusaka peninggalan R.A.A. Koesoemadiningrat kembali digelar di bulan Rabiul Awal atau Maulid dalam setiap tahunnya. Benda Pusaka yang di bersihkan diantaranya berupa tombak,pedang,dan keris,yang dimandikan dengan air suci yang diambil dari delapan mata air yakni mata air Jambansari, Karangkamulyan, Pulo Majeti, Ciomas, Cakra Dewa Panjalu, Tumenggung Wira Adikusuma Gunung Galuh, dan Situs Ganoang.
Air suci tersebut dipercaya dapat menjaga kesakralan pusaka tersebut.Sebelum dimandikan pusaka pusaka itu diarak dari Musium Galuh Pakuan (Pendopo Selagangga) tempat tersimpannya pusaka, menuju Situs Jambansari. Ratusan masyarakat mulai dari Ciamis hingga luar daerah berkumpul khidmat menyaksikan Jamasan Pusaka, tradisi adat Sunda yang diwariskan turun-temurun oleh kasepuhan Galuh dan Jambansari.
Baca Juga :
Sejak pagi, para sesepuh berjajar di barisan depan, mengenakan busana adat Sunda pangsi hitam-putih dengan ikat kepala khas. Di hadapan mereka telah tersusun perlengkapan ritual untuk jamasan pusaka diantaranya tujuh tangkai bunga sedap malam, kendi besar berisi campuran tujuh mata air, sesajen, bubur beureum bodas, kelapa muda, hingga nyiru berisi buah dan jajanan manis, semua sarat simbol dan makna.
Menurut juru kunci Situs Jambansari, Nandang Sembada Putra, setiap mata air dipercaya memiliki karomah atau keberkahan spiritual tersendiri.
“Seperti halnya sumur Zamzam membawa keberkahan, begitu pula mata air di tanah Sunda. Saat disatukan, berkahnya pun menyatu,” jelasnya, Senin (15/9/2025).
Prosesi jamasan yang dimulai sekira pukul 10.30 WIB, pusaka dibungkus kain putih, diantarkan pemuda, lalu dicuci oleh para sesepuh sambil diiringi rajah. Ketika jamasan dimulai, suasana hening, sakral, dan penuh penghormatan menyelimuti prosesi tersebut. Namun, jamasan pusaka bukan sekadar mencuci benda bersejarah. Setiap perlengkapan mengandung filosofi mendalam.
- Nyiru, misalnya, dimaknai sebagai simbol ruh perempuan (Nyi-Ru) yang menjadi sumber kehidupan.
- Buah dalam nyiru melambangkan harapan agar usaha manusia “kaala buahna” atau berbuah hasil.
- Jajanan manis bermakna doa agar hidup terasa ringan.
- Tujuh bunga harum melambangkan kebaikan yang harus ditebarkan manusia setiap hari.
- Sementara delapan gelas minuman mulai dari kopi pahit, teh, susu, hingga rujak menjadi pengingat tentang suka-duka kehidupan.
- Bubur beureum bodas merepresentasikan keseimbangan jasmani dan rohani.
“Semua itu siloka. Pahit, manis, asam, getir, semua bagian dari kehidupan yang sudah diatur Allah. Tradisi ini juga ajaran silaturahmi, bukan hanya dengan manusia, tapi juga dengan hewan, tumbuhan, bahkan seluruh alam,” tambah Nandang.
Nandang yang sebagai Juru Kunci juga menyebut, "Silaturahmi tersebut bukan hanya dengan sesama manusia tetapi juga dengan binatang, tumbuhan, hingga seluruh alam semesta, karena pada hakikatnya manusia itu ditunjuk sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi yang harus terus menjaga semua ciptaan Tuhan." ujarnya.
R.Adi Gardjita,selaku ketua yayasan Koesoemadiningrat dalam sambutannya menyampaikan bahwa jamasan tidak hanya merawat benda pusaka, tapi menguatkan silaturahmi antar masyarakat dengan sejarah leluhurnya.
"Jamasan tidak hanya merawat benda pusaka, tetapi juga menguatkan silaturahmi antara masyarakat dengan sejarah leluhurnya, tujuanya agar kita bisa bersilaturahmi sekaligus merawat peninggalan leluhur kita, agar anak cucu kita mengetahui bahwa di Tatar Galuh masih banyak budaya yang harus dilestarikan," tuturnya.
Kemudian Sekretaris Dinas Budaya Pemuda Olahraga Kabupaten Ciamis Hedri Ridwansyah yang turut hadir menyampaikan, "Prosesi ini mencerminkan kekayaan budaya Galuh/Ciamis yang patut dihargai."
Hendri pun mengutip pepatah sunda kuno yang berbunyi Hana Kuni Hana Mangke, Tanhana Nguni, Tanhana mangke, yang artinya ada dahulu ada sekarang, tidak ada dulu tidak ada pula sekarang. Pepatah ini menegaskan pentingnya melestarikan tradisi sebagai warisan budaya tak benda,sejalan dengan amanat Undang-undang no 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan.
Di penghujung upacara, air bekas pencucian pusaka dan sesajen dibagikan kepada masyarakat. Setiap orang membawa sebagian, sebagai simbol keberkahan yang tidak hanya dirasakan individu, tapi juga menyatu dalam kehidupan bersama.
Jamasan pusaka bukan hanya sekedar prosesi tahunan yang rutin digelar, tetapi juga di dalamnya terkandung nilai-nilai silaturahmi yang tidak terbatas antar manusia tetapi juga dengan seluruh ciptaan Tuhan.
(I.Darmawan)
Baca Berita Selengkapnya di Swaraekslusif.com.