Mengapa Pejabat Korup Masih Tersenyum? Tenang, Tanpa Malu, dan Tetap Eksis di Tengah Hilangnya Nurani


Swaraekslusif.com

Korupsi di Indonesia bukan sekadar kasus hukum, melainkan fenomena sosial dan psikologis yang membentuk wajah bangsa. Dilansir dari jurnallugas.com, Publik sering bertanya-tanya: apakah pejabat yang korup sebenarnya dihantui rasa bersalah, atau justru batinnya tenang karena memang menginginkannya? Mengapa sebagian dari mereka tetap bisa tersenyum, santai menghadapi kamera, bahkan membela diri dengan lantang meski bukti sudah menggunung?


Pertanyaan ini menyentuh sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar pasal undang-undang. Ia meraba wilayah psikologi moral, filsafat etika, hingga kondisi batin manusia ketika berhadapan dengan godaan kekuasaan. Mari kita bedah secara kritis, dengan pendekatan jurnalistik intelektual yang jernih.


Batin yang Bertentangan: Rasa Bersalah yang Tertahan


Tidak semua pejabat korup berangkat dari niat murni untuk merampok uang rakyat. Ada di antara mereka yang sebenarnya menyadari kesalahan, namun terjebak dalam tekanan lingkungan birokrasi yang permisif. Mereka tahu tindakan itu salah, hati kecil menolak, namun rasionalisasi menguasai.


Psikologi menyebut kondisi ini sebagai dissonansi kognitif konflik antara keyakinan moral dengan tindakan nyata. Di satu sisi, mereka memahami korupsi melanggar hukum dan etika. Di sisi lain, ada godaan keuntungan pribadi, tuntutan gaya hidup, atau tekanan dari atasan dan jaringan politik.


Batin yang bertentangan ini sering melahirkan gejala psikis: kecemasan, rasa gelisah, bahkan mimpi buruk. Pejabat yang masih memiliki nurani hidup akan dihantui perasaan bersalah, meski mungkin tetap mencoba menutupinya dengan senyum formal di depan publik.


Nurani yang Tumpul: Dari Rasa Bersalah ke Rasa Biasa


Namun, fakta di lapangan menunjukkan banyak pejabat yang tampak santai dan tanpa rasa malu. Mereka bahkan berani menyatakan diri tidak bersalah, meski proses hukum berjalan. Bagaimana mungkin? Jawabannya ada pada proses psikologis yang panjang: rasionalisasi diri dan penumpulan nurani.


Ketika seseorang berkali-kali melakukan kesalahan dan berhasil lolos, nurani bisa menjadi kebal. Lama-kelamaan, korupsi tidak lagi dianggap kejahatan, melainkan hak jabatan. Mereka membenarkan diri dengan kalimat klise: “Semua orang juga begitu, kenapa saya tidak?” atau “Saya sudah bekerja keras, ini kompensasi yang wajar.”


Fenomena ini sejalan dengan konsep moral disengagement (Albert Bandura), yakni proses psikologis di mana seseorang memisahkan tindakan tidak etis dari penilaian moralnya, sehingga bisa berbuat salah tanpa merasa bersalah.


Antara Rasa Bersalah dan Takut Ketahuan


Menariknya, tidak semua yang terlihat tenang benar-benar bebas dari bayangan korupsi. Ada yang tidak dihantui rasa salah, tetapi dihantui rasa takut ketahuan. Hidupnya penuh strategi menutup jejak: memindahkan aset, mencari payung politik, hingga menyiapkan kambing hitam.


Dalam kasus ini, rasa bersalah tidak hadir, melainkan digantikan oleh paranoia. Mereka tidak malu di depan publik, tapi di ruang privat bisa diliputi kecurigaan berlebihan. Takut dikhianati, takut dibocorkan, takut terekam kamera.


Eksis Tanpa Malu: Budaya yang Membiakkan Korupsi


Publik sering heran melihat pejabat yang tetap eksis di panggung publik meski sudah terbukti korupsi. Bahkan, ada yang masih mendapat sorotan media, menghadiri acara resmi, hingga tersenyum lebar saat diwawancara. Apakah mereka memang tidak punya rasa malu?


Dalam kacamata budaya, jawabannya bisa iya. Ketika korupsi sudah dianggap lumrah di lingkungan kekuasaan, rasa malu hilang. Malu bukan lagi ukuran moral, tapi sekadar risiko administratif. Alih-alih merasa hina, mereka justru merasa tetap punya pengaruh politik dan sosial.


Sosiolog menyebut ini sebagai normalisasi perilaku menyimpang: sesuatu yang awalnya dianggap salah, lama-kelamaan dianggap biasa karena banyak orang
melakukannya. Malu pun tergerus.


Baca Juga : 

Cara Aman Membeli Emas Panduan Pengiriman Sertifikat Resmi dan Karat Alami.

Kasus Kematian Misterius Polda Kalbar Mengimbau tidak Berspekulasi.


Kekuasaan dan Ilusi Harga Diri


Faktor lain yang membuat pejabat korup bisa tampil percaya diri adalah mentalitas kekuasaan. Orang yang terbiasa dihormati, dielu-elukan, dan disanjung bawahan akan sulit menerima kenyataan bahwa dirinya pelaku kejahatan. Mengaku bersalah berarti meruntuhkan bangunan harga diri yang dibangun bertahun-tahun.


Karena itu, sebagian memilih bertahan dengan narasi pembelaan diri. Mereka bisa berkata: “Saya dikriminalisasi politik,” atau “Saya hanya korban sistem.” Narasi ini bukan semata untuk publik, tapi juga untuk menenangkan diri sendiri. Semacam tameng psikologis agar harga diri tidak runtuh.


Perspektif Filsafat dan Agama


Dalam filsafat Timur dan berbagai tradisi agama, rasa malu dianggap sebagai benteng terakhir moral manusia. Konfusianisme menekankan pentingnya chi (rasa malu) sebagai fondasi kebajikan. Dalam Islam, ada konsep haya’ (malu) yang disebut bagian dari iman. Sementara dalam Buddhisme, ada hiri (malu moral) dan ottappa (takut akibat buruk) sebagai penjaga batin dari perbuatan jahat.


Namun, bila rasa malu hilang, manusia bisa meluncur bebas dalam kesalahan tanpa lagi terikat moral. Seperti kata pepatah, “Ketika malu hilang, semua dosa jadi ringan.”


Antara Bayangan Gelap dan Senyum Palsu


Kita bisa menyimpulkan bahwa pejabat korup berada dalam spektrum batin yang beragam:


  1. Mereka yang batinnya bertentangan: sadar salah, dihantui rasa bersalah, namun tetap terjerat.
  2. Mereka yang rasionalisasinya kuat: tidak merasa salah, menganggap korupsi hal biasa.
  3. Mereka yang santai di luar, gelisah di dalam: bukan karena nurani, tapi karena takut ketahuan.


Sayangnya, publik lebih sering melihat wajah yang terakhir: senyum yang dipoles, pembelaan diri yang lantang, eksistensi tanpa malu. Padahal, di balik itu ada bayangan gelap yang mungkin tidak pernah mereka tunjukkan.


Nurani, Hukum, dan Perlawanan Publik


Pertanyaan tentang batin pejabat korup tidak bisa dijawab tunggal. Ada yang benar-benar masih dihantui rasa salah, ada yang sudah tumpul nuraninya, ada pula yang hanya takut ketahuan. Namun, satu hal pasti: korupsi bukan sekadar masalah individu, tapi masalah budaya dan sistem.


Jika masyarakat terus permisif, pejabat korup tidak akan pernah merasa malu. Mereka akan tetap tampil, tetap tersenyum, tetap eksis. Karena itu, yang paling penting bukan sekadar menanti nurani mereka bangun, tapi membangun sistem hukum yang tegas dan budaya publik yang menolak korupsi.


Sebab, ketika hukum tegak dan masyarakat bersuara, pejabat korup tidak akan lagi bisa berlindung di balik senyum palsu. Mereka akan menghadapi konsekuensi nyata bukan hanya di pengadilan, tapi juga di mata sejarah. (**)






Baca Artikel Tentang Korupsi Lengkap Lainnya Di Swaraekslusif.com.

Lebih baru Lebih lama