Darurat Dua Racun Sosial: Pemerasan Berkedok Wartawan & Hasutan Penuh Kebencian



Swaraekslusif.com

SUBULUSSALAM, Aceh.

Masyarakat Aceh, khususnya para kepala desa, kepala sekolah, dan pejabat SKPK, saat ini menghadapi dua persoalan sosial yang sama-sama merusak tatanan masyarakat: maraknya oknum wartawan abal-abal yang memeras dengan modus konfirmasi, serta merebaknya hasutan antarwarga yang menyebar layaknya virus kebencian.


Kedua masalah ini, meski tampak berbeda, memiliki benang merah yang sama: menyalahgunakan kepercayaan untuk keuntungan pribadi dan pada akhirnya merusak hubungan sosial serta ketenteraman masyarakat.


Modus Lama Berkedok Baru: Konfirmasi Palsu, Ujungnya Minta Uang


Sejumlah laporan masuk dari berbagai wilayah di Aceh, mulai dari Aceh Barat, Nagan Raya, Subulussalam, hingga Aceh Singkil, mengenai aktivitas oknum wartawan yang mendatangi desa-desa. Mereka berdalih melakukan konfirmasi atas penggunaan dana desa, pelaksanaan proyek, atau bantuan pendidikan.


Namun, setelah proses "konfirmasi" usai, oknum-oknum ini justru meminta "uang minyak", voucher internet, atau amplop dengan ancaman tersirat: jika tidak dipenuhi, berita negatif akan disebarluaskan.


“Dia datang tanya soal APBDes, saya layani dengan baik. Tapi setelah itu, malah minta uang jalan. Katanya untuk tim liputan. Saya langsung curiga, dan tolak. Ini bukan kerja jurnalistik, ini pemerasan terselubung,” ujar seorang kepala desa di Subulussalam yang enggan disebutkan namanya.


Para oknum ini biasanya hanya bermodal Kartu Tanda Anggota (KTA) dari media atau organisasi tidak jelas, tanpa izin resmi, dan tidak terdaftar di Dewan Pers. Banyak di antaranya tidak memahami Kode Etik Jurnalistik, apalagi memiliki pengalaman atau pendidikan dalam dunia pers.


Pukulan untuk Pers Sejati


Fenomena ini menjadi tamparan keras bagi jurnalis profesional yang selama ini menjaga etika, integritas, dan independensi dalam kerja jurnalistik. Wartawan seharusnya menjadi pengawas kekuasaan dan penyampai kebenaran, bukan tukang gertak yang mencari recehan dari ketakutan orang lain.


“Kalau wartawan ingin diberi uang karena peliputan, lebih baik jangan jadi wartawan. Profesi ini kerja intelektual, bukan cari-cari bensin. Ini bukan lagi konfirmasi, ini pemerasan!” tegas Ogk Roni Syehrani, tokoh masyarakat Aceh.


Beberapa komunitas wartawan di daerah bahkan mulai mengambil sikap tegas. Di Nagan Raya, seorang oknum dari luar daerah pernah diusir setelah ketahuan mencoba memeras kepala sekolah dengan dalih akan mengangkat berita.


Imbauan: Jangan Takut, Jangan Diam


Kami mengimbau seluruh masyarakat, kepala desa, kepala sekolah, dan instansi pemerintah agar:


1.  Selalu cek legalitas wartawan dan medianya melalui situs resmi Dewan Pers.

2.  Jangan pernah memberi uang kepada wartawan mana pun.

3.  Simpan bukti percakapan dan rekam interaksi sebagai alat bukti hukum.

4.  Laporkan oknum mencurigakan ke aparat penegak hukum atau Dewan Pers.


Hasutan: Racun Sosial yang Tak Kalah Bahaya


Di saat masyarakat resah dengan pemerasan berkedok pers, muncul racun sosial lain yang diam-diam merusak: hasutan yang menyesatkan.


Fenomena ini diangkat dalam tulisan reflektif jurnalis Syahbudin Padank berjudul “Hasutan yang Menyesatkan Saat Kebencian Seseorang Menular kepada Orang Lain”. Tulisan itu menjelaskan bagaimana konflik pribadi yang tidak diselesaikan secara dewasa berubah menjadi kampanye kebencian kolektif, menyebar melalui obrolan warung kopi, grup WhatsApp, hingga pertemuan sosial.


Ungkapan seperti, “Kau harus tahu siapa dia sebenarnya,” atau “Jangan percaya sama dia, aku sudah tahu kelakuannya,” terlihat sepele, namun sering menjadi bahan bakar kebencian yang memecah belah.


“Nama baik bisa hancur bukan karena kesalahan, tapi karena hasutan orang yang tidak mau berdamai dengan dirinya sendiri,” tulis Syahbudin.


Korban hasutan sering kali tidak menyadari dirinya sedang diserang secara sosial. Mereka dijauhi, dicurigai, bahkan difitnah tanpa diberi ruang untuk membela diri. Ini adalah bentuk kekerasan sosial tanpa darah, namun meninggalkan luka yang dalam.


Mari Dewasakan Diri dalam Menyikapi Konflik dan Informasi


Di tengah derasnya arus informasi, kedewasaan menjadi tameng utama. Masyarakat perlu lebih bijak memilah informasi yang benar dan yang penuh kepentingan pribadi.


Ajukan pertanyaan sederhana setiap kali menerima cerita negatif tentang seseorang: **“Apakah kamu sudah bicara langsung dengan orang itu?”**


Jika belum, maka cerita itu patut diragukan. Jangan jadikan diri kita corong kebencian, apalagi jika konflik itu bukan milik kita.


Jagalah Desa, Jaga Damai, Jaga Martabat


Mari kita bersatu melawan dua racun sosial yang sedang merusak tatanan masyarakat:


1.  Oknum wartawan pemeras yang menodai profesi mulia dan mengintimidasi dengan dalih konfirmasi.

2.  Hasutan personal yang menular dan menghancurkan hubungan sosial tanpa alasan yang adil.


Jangan beri ruang pada siapa pun yang datang dengan niat buruk. Baik yang memakai kartu wartawan palsu maupun yang menyebar cerita kebencian—keduanya adalah perusak harmoni.


Subulussalam, Aceh, dan seluruh pelosok desa di negeri ini layak untuk hidup damai.

(red)







Baca Artikel Berita Menarik Lainnya Lengkap Di   Swaraekslusif.com. 

Lebih baru Lebih lama